Senin, 02 Juli 2012
Batik pun Jadi Milik Malaysia
Malaysia
akan meluncurkan buku tentang sejarah industri batik mereka pada Jumat
mendatang. Buku berjudul 'Malaysian Batik: Reinventing a Tradition' itu
akan diluncurkan dalam Konvensi dan Pameran Batik Internasional Kuala
Lumpur (KLIB) 2011.
Buku ini berisi sejarah batik, bahan-bahan, metode membatik dengan tangan dan cap, serta cara batik Malaysia bertransformasi dengan kehadiran batik internasional. Rencananya, buku ini akan diluncurkan oleh mantan Perdana Menteri Tun Abdullah Ahmad Badawi di The Kuala Lumpur Convention Center.
Kepala Eksekutif Yayasan Budi Penyayang, Datuk Leela Mohd Ali mengatakan peluncuran buku ini sebagai bagian dari inisiatif yayasan untuk menyesuaikan industri batik Malaysia dengan mode saat ini.
"Kami kini berada pada fase enam, dan peluncuran buku ini sangat istimewa karena menandakan kreativitas Malaysia dan kebangkitan industri batik," katanya seperti dikutip Bernama.
KLIB ini diselenggarakan oleh Yayasan Budi Penyayang bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata Malaysia. Temanya 'Bisnis Batik', akan menampilkan segmen khusus pada "Kerajinan Batik" yang terdiri dari prototipe dari kategori kerajinan tangan dalam Kompetisi Piala Seri Endon.
"Ada tiga kategori untuk pertandingan seri Endon, yaitu fashion, kerajinan halus, dan kerajinan tangan," kata Leela.
KLIB akan menampilkan lebih dari 100 stand yang terkait produk maupun jasa batik lokal dan internasional. Selain itu, juga ada presentasi oleh 19 ahli batik di berbagai bidang, dari orang-orang yang telah mengembangkan kebijakan pada industri kerajinan di negaranya masing-masing.
Buku ini berisi sejarah batik, bahan-bahan, metode membatik dengan tangan dan cap, serta cara batik Malaysia bertransformasi dengan kehadiran batik internasional. Rencananya, buku ini akan diluncurkan oleh mantan Perdana Menteri Tun Abdullah Ahmad Badawi di The Kuala Lumpur Convention Center.
Kepala Eksekutif Yayasan Budi Penyayang, Datuk Leela Mohd Ali mengatakan peluncuran buku ini sebagai bagian dari inisiatif yayasan untuk menyesuaikan industri batik Malaysia dengan mode saat ini.
"Kami kini berada pada fase enam, dan peluncuran buku ini sangat istimewa karena menandakan kreativitas Malaysia dan kebangkitan industri batik," katanya seperti dikutip Bernama.
KLIB ini diselenggarakan oleh Yayasan Budi Penyayang bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata Malaysia. Temanya 'Bisnis Batik', akan menampilkan segmen khusus pada "Kerajinan Batik" yang terdiri dari prototipe dari kategori kerajinan tangan dalam Kompetisi Piala Seri Endon.
"Ada tiga kategori untuk pertandingan seri Endon, yaitu fashion, kerajinan halus, dan kerajinan tangan," kata Leela.
KLIB akan menampilkan lebih dari 100 stand yang terkait produk maupun jasa batik lokal dan internasional. Selain itu, juga ada presentasi oleh 19 ahli batik di berbagai bidang, dari orang-orang yang telah mengembangkan kebijakan pada industri kerajinan di negaranya masing-masing.
Di Indonesia, batik juga
dikenal sebagai warisan budaya. Literatur-literatur soal batik juga
telah ada. Batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO dengan dimasukkan
ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi Oktober 2009. (adi)
Jumat, 29 Juni 2012
Kain Tapis Lampung: Lambang Status yang Mengalami Desakrakalisasi
Secara
sosiologis, kain tapis Lampung melambangkan kemapanan status sosial pemiliknya
dalam kehidupan bermasyarakat. Kain
Tapis Raja Medal, misalnya, hanya bisa dipakai oleh kalangan elite suku asli
Lampung dari kalangan keluarga pemimpin adat atau pemimpin suku pada upacara
adat. Misalnya saat resepsi perkawinan dan upacara pemberian gelar adat (cakak
pepadun). Penggunaannya pun tidak boleh sembarangan.
Pemakaian kain
tapis pada acara adat juga harus disesuai derajat penggunaannya. Pada acara
perkawinan dan cakak pepadun, jenis tapis yang dipakai adalah Tapis Jung
Sarat, Raja Medal, Raja Tunggal, Dewasano, Limar Sekebar, Ratu Tulang Bawang
dan Cucuk Semako. Pada acara cangget (tarian untuk menghormati tamu
penting), tapis yang dipakai dengan motif Bintang Perak, Tapis Balak, Pucuk
Rebung, Lawek Linau dan Kibang. Untuk wanita tua, tapis yang dipakai adalah
Tapis Agheng, Cucuk Pinggir, dan Tapis Kaca.
Jika salah dalam menggunakannya, maka ada sanksi
adat, berupa teguran dari anggota masyarakat lainnya. Bahkan, seseorang yang
secara adat dinilai belum pantas memakai Kain Tapis Medal, misalnya, tetapi
nekat memakainya pada saat upacara adat, kain itu bisa dicopot di muka umum.
Perkembangan zaman menyebabkan
desakralisasi kain tapis. Kini kain tapis tidak hanya dipakai kaum bangsawan
atau kepala adat, tetapi juga dipakai oleh kalangan masyarakat Lampung kelas
bawah. Kalau kain tapis para kepala adat biasanya benangnya bercampur dengan
emas, kain tapis yang dipakai orang kebanyakan benangnya berwarna kuning
keemasan.
Meski begitu, motifnya tetap indah.
Pemakaiannya pun harus pada acara adat tertentu, seperti Acara Butammat,
yaitu acara muda-mudi melakukan pembacaan ayat suci Al Quran di Balai Adat dan
disaksikan oleh para pemuka adat dan masyarakat sebagai tanda mereka telah khatam
Al Quran.
"Meski telah terjadi perubahan dalam
motif kain tapis karena pengaruh perkembangan jaman, namun khasanah motif tempo
dulu tak juga sirna," kata Aisyah Yaqub, 66, seniman tapis asal Desa Natar, Lampung
Selatan.
Aisyah mencontohkan motif Pucuk Rebung
(anak bambu muda) yang sudah ada sejak periode prasejarah atau ragam hias jaman
Hindu. Tapis Pucuk Rebung hingga kini masih menjadi motif utama yang
melambangkan kemakmuran. Demikian pula motif yang berbentuk spiral, diyakini
mempunyai arti sebagai pemujaan matahari dan alam. Ragam hias Pohon Hayat juga
diyakini mengandung makna kesatuan dan keesaan Tuhan yang menciptakan alam
semesta.
Menurut Aisyah pada zaman dulu para pengrajin tapis menggunakan bahan baku dari hasil olah
sendiri dengan menggunakan sistem ikat. Bahan olahan tersebut berasal dari khambak
(kapas) yang digunakan untuk membuat benang; kepompong, yang digunakan
untuk membuat benang sutera; pantis (lilin sarang lebah), untuk
meregangkan benang; akar serai wangi , untuk pengawet benang, daun sirih untuk
membuat tidak luntur, buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu jejal untuk
pewarna merah, kulit kayu salam, rambutan untuk pewarna hitam, kulit kayu mahoni,
durian untuk perwarna coklat, buah duku, atau daun talom untuk pewarna biru,
kunyit dan kapur untuk pewarna kuning.
“Bahan baku
yang langsung diambil dari alam tersebut lebih berkualitas dari pada bahan baku yang sekarang sudah
banyak diperdagangkan,” kata Aisyah.
Aisyah mengatakan sekarang bahan baku pembuatan tapis adalah benang katun yang
berbentuk gulungan yang bermerek Tiger atau Astra dengan berbagai jenis warna.
Sedangkan untuk bahan sulamnya, menggunakan benang emas dalam bentuk gulungan yang
mudah didapatkan.
Proses membuat tapis memang tergolong
rumit, membutuhkan keterampilan dan waktu yang lumayan lama. Untuk menciptakan
satu kain tapis, membutuhkan waktu seminggu hingga dua bulan. Pembuatannya juga
unik dan berbau magis. Dulu, kain tapis dibuat dari daun nanas dan dalam
pembuatannya seorang penenun melafazkan mantra-mantra sebagai asihan bagi
pemakainnya yang dilakukan dari proses penenunan, penyulaman hingga menjadi
kain.
Bahan utamanya berasal benang kapas katun,
benang emas dan benang kapas. Bahan katun dijadikan sebagai dasar kain.
Sedangkan benang emas dan benang kapas digunakan untuk membuat ragam hias
dengan sistem sulam.
Setelah bahan dipersiapkan, langkah
selanjutnya adalah melakukan penenunan yang disebut Mattakh Setelah ditenun, baru dilakukan penyulaman
untuk menghias motif yang telah ditentukan. Alat yang digunakan saat penyulaman
adalah tekang, yang berbentuk persegi panjang berupa papan sebagai
pengencang kain yang akan disulam. Sedangkan proses penyulaman dilakukan secara
manual dengan menggunakan jarum. Sebelum menyulam, pengrajin sudah mengetahui
motif yang akan disulam. Motif – motif tersebut telah digambar di atas kain.
Penyulaman dilakukan sesuai gambar motif yang telah didesain.
Motif yang dihasilkan bentuknya
beranekaragam, seperti ragam hias geometri, yaitu ragam hias berbentuk persegi
seperti wajik. Ragam hias flora dan fauna, yang umumnya dijadikan motif adalah
bunga dan daun sulur (menjulur) membentuk simetris pada bidang dasar kain.
Ragam hias sulur berupa sulaman berbentuk tali, digunakan sebagai ragam hias
pada Tapis Cucuk Andak dan Inuh. Sulur bentuknya berliku – liku. Sedangkan
ragam fauna, umumnya bermotif naga, burung dan hewan tunggangan. Burung hias
yang biasa djadikan motif adalah burung garuda, merak dan ayam jago.
Burung dilambangkan sebagai ketiinggian
derajat seseorang, sedangkan ayam jago melambangkan keperkasaan. Pada agama
Hindu, burung garuda disimbolkan sebagai kendaraan dewa Wisnu. Sedangkan burung
merak melambangkan kebesaran dengan keindahan ekornya. Motif tersebut dapat
dijumpai pada Kain Tapis "Perahu Garuda" yang dipakai pada acara
begawi adat (pesta adat), menjadi simbol untuk mencapai derajat yang lebih
tinggi. Penggunaan ragam hias burung umumnya dipakai pada wanita tua dan menggunakan
dasar warna tua.
Ada juga motif hewan tunggangan, seperti gajah, kerbau dan kuda
bersayap. Gajah dan Kerbau melambangkan kemakmuran. Kuda bersayap melambangkan
keberaian. Motif tersebut umumnya digunakan para gadis dan istri pemimpin adat.
Tapis yang bermotif Hewan Tunggangan dapat ditemukan pada Tapis Raja Medal,
Tapis Raja Tunggal dan Tapis gajah Meghem. Ada juga tapis yang bermotif naga, ikan dan
kupu – kupu. Motif tersebut tidak terlepas dari pengaruh tradisi china.
Selain bermotif flora dan fauna, terdapat
pula ragam hias bermotif manusia. Biasanya berupa seseorang yang sedang
menunggang kuda atau gajah dan rato (kereta kerajaan). Artinya, manusia
mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada hewan. Motif tersebut dapat
dijumpai pada Tapis Raja Tunggal dan Tapis Raja Medal. Motif manusia juga
ditemukan pada Tapis Ratu Tulang Bawang dalam bentuk orang bermahkota atau
bertanduk. Hal itu mengandung makna, status seseorang yang sangat tinggi dan
dihormati.
Dalam tapis juga
ditemukan motif bintang yang berwarna perak dan bulan berbentuk sabit. Hal itu
dijumpai pada Tapis Limar, yang melambangkan masa depan terang benderang. Motif
Perahu yang dijumpai pada Tapis Raja Tunggal, Tapis Salem Di Lawek di Gunung,
melambangkan sebuah masa peralihan, yang dalam pandangan hidup masyarakat
Lampung berarti ingin mencapai derajat yang lebih tinggi. Perahu adalah simbol
kendaraan untuk meraih derajat yang lebih tinggi. Sedangkan motif Pucuk Rebung
merupakan ragam hias yang mengandung makna kemakmuran sumberdaya alam.
(Oyos Saroso H.N.)
Tapis Lampung, Bukti Akulturasi Hindu-Budha-Islam
Menurut catatan
sejarah, kain tapis Lampung sudah mulai dikembangkan sejak tahun 800-an. Hal
itu bisa dilihat pada Prasasti Raja Belitang yang berangka tahun 898—915
Masehi. Masyarakat yang pertama kali mengembangkan kain tapis adalah masyarakat
daerah Menggala (kabupaten Tulangbawang) dan Kenali (Lampung Barat).
Panjangnya sejarah kain tapis Lampung juga
ditunjukkan dengan adanya koleksi tapis kuno Lampung yang sudah berumur 400-an
tahun yang saat ini tersimpan di musium Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan,
ada beberapa pengamat budaya Lampung
yang mengungkapkan bahwa tapis Lampung sudah ada sejak zaman prasejarah.
Budayawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar,
mengungkapkan dahulu kain tapis yang terbuat dari kain tenun dan disulam dengan
benang emas, perak atau sutra itu merupakan simbol status seseorang. Sebagai
alat pengikat pada kain tapis biasanya dipakai jarum tangan dan benang jahit
berwarna kuning. Bahan kain tapis adalah kain tenun yang berbentuk kain sarung,
terbuat dari kapas dan bermotif dasar garis horizontal.
Fungsi kain tapis sendiri berkaitan erat
dengan makna simbolis yang terdapat pada ragam hias dan merupakan perangkat
untuk kepentingan upacara adat. Kain tapis mempunyai fungsi dalam beberapa
aspek kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti aspek sosial, aspek religius,
aspek estetika, dan aspek ekonomi.
Dari aspek religius, kain tapis lazim
dipakai pada upacara daur hidup termasuk upacara keagaamaan. Ragam hias yang
ada di atas selembar tapis melambangkan wujud kepercayaan masyarakat Lampung
terhadap kebesaran alam dan keagungan Tuhan. Sedangkan dari aspek estetika,
motif ragam hias yang ditampilkan melahirkan karya seni yang memiliki nilai
estetika dan nilai historis yang tinggi.
Iwan Nurdaya Djafar, yang juga dikenal
sebagai penerjemah karya klasik dan penyair, mengungkapkan, pada masa lampau
pemakaian kain tapis tergantung pada tingkat sosial seseorang. Kain tapis yang
dikenakan seseorang dapat menunjukkan status sosial pemakai dan merupakan
lambang atau simbol status kelompok keluarga tertentu.
Menurut Iwan, pada zaman dulu kerajinan
tapis lebih sebagai kebutuhan sosial sekelompok masyarakat pendukungnya untuk
memenuhi kepentingan adat istiadat. “Dengan adanya perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat, hasil kerajinan tapis diperjualbelikan kepada masyarakat
luas, akhirnya sedikit demi sedikit fungsi simbolis dan religi diabaikan,” kata
Iwan.
Iwan mengungkapkan, kain tapis tidak hanya
menampilkan sisi estetis semata, tetapi juga mengandung sugesti moral, magis,
dan religius yang tampak di setiap simbol pada lambang yang menjadi ragam
motifnya. Nilai yang terkandung dalam kain tapis tersebut merupakan refleksi
terhadap kehidupan manusia.
Keagungan nilai – nilai simbolis tapis
biasanya diambil dari unsur – unsur flora, fauna, alam raya, benda dan motif
bercorak manusia. Simbol – simbol tersebut dimaknai sebagai kehidupan timbal
balik antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya dan manusia
dengan Tuhan Pencipta alam raya. Demikian pula dengan motif kapal dalam kain
tapis Lampung, yang melambangkan aspek kemaritiman Indonesia yang kaya akan
sumberdaya alamnya.
Motif tersebut telah muncul sejak jaman
kerajaan Hindu Indonesia. Kemudian dimodifikasi dengan pengaruh motif Islam
yang merambah masuk saat kerajaan Islam berkuasa dan masuknya saudagar dari
Arab, Persia dan India ke Bumi Ruwai Jurai, antara tahun 1500 – 1700. Lebih –
lebih setelah masuknya budaya dari Jawa melalui proses perdagangan di Selat
Malaka dan Selat Sunda. Perkembangan seni tenun tradisional Lampung semakin kaya.
Menurut Iwan, tapis kuno biasanya
berkualitas karena proses penggarapannya bukan karena tuntutan industri.
Umumnya, muli (gadis) dan ibu – ibu masyarakat Lampung pandai dalam
membuat kain tapis. Mereka bekerja hanya mengisi waktu senggang, tak peduli
lama prosesnya.
“Ada sebuah aturan sosial dalam masyarakat
Lampung zaman dulu, jika seseorang yang tidak mempunyai kain tapis maka ia akan
dikucilkan. Makanya, banyak orang Lampung yang pandai membuat tapis untuk
menghindari pengucilan tersebut," kata Iwan.
Uniknya, untuk menilai bagus atau tidaknya
seorang gadis Lampung, salah satunya dengan menilai kepandaiannya dalam menenun
tapis. Semakin pandai, gadis tersebut menenun, maka semakin baik akal, budi dan
perilakunya. “Sekarang aturan itu tidak ada lagi. Tapi, siapa pun pria yang
akan menyunting gadis Lampung sebagai istrinya, sampai sekarang pun harus
menyediakan sejumlah kain tapis. Ini tentu saja memberatkan karena harga kain
tapis makin mahal,” kata mantan ketua Dewan Kesenian Lampung itu.
Rusli Syukur, perupa Lampung yang juga ahli
tapis, mengungkapkan penciptaan motif tidak terlepas dari realitas zaman. Mulai
dari agama Hindu, Budha dan Islam, khasanah motif tapis terus mengalami
perubahan, berkembang melalui proses akulturasi tanpa menghilangkan
identitasnya. Kini, karena sudah sekian banyak diproduksi, keberadaan tapis
tidak lagi untuk kalangan khusus.
"Keberadaan kain tapis mengalami
pergeseran fungsi simbolisnya. Lunturnya fungsi simbolis tersebut disebabkan
karena pengaruh industrialisasi. Karena itu, industri tapis lebih mengedepankan
sisi ekonomis dan kurang memperhatikan aspek religis dan sosiologis,” kata
Rusli.
Rusli mengungkapkan, pada zaman dulu Tapis
Lampung merupakan kerajinan tradisional yang hanya dikerjakan oleh wanita, baik
ibu – ibu rumah tangga maupun gadis – gadis yang hanya mengisi waktu luang.
"Tujuannya tidak untuk bisnis, tetapi untuk keperluan adat istiadat yang
dianggap sakral," kata perupa yang mengembangkan motif tapis untuk
berbagai ornamen bangunan berciri Lampung itu. (Oyos Saroso H.N.)
Langganan:
Postingan (Atom)