Jumat, 29 Juni 2012

Tapis Lampung, Bukti Akulturasi Hindu-Budha-Islam






Menurut catatan sejarah, kain tapis Lampung sudah mulai dikembangkan sejak tahun 800-an. Hal itu bisa dilihat pada Prasasti Raja Belitang yang berangka tahun 898—915 Masehi. Masyarakat yang pertama kali mengembangkan kain tapis adalah masyarakat daerah Menggala (kabupaten Tulangbawang) dan Kenali (Lampung Barat).

Panjangnya sejarah kain tapis Lampung juga ditunjukkan dengan adanya koleksi tapis kuno Lampung yang sudah berumur 400-an tahun yang saat ini tersimpan di musium Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan, ada beberapa  pengamat budaya Lampung yang mengungkapkan bahwa tapis Lampung sudah ada sejak zaman prasejarah.

Budayawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar, mengungkapkan dahulu kain tapis yang terbuat dari kain tenun dan disulam dengan benang emas, perak atau sutra itu merupakan simbol status seseorang. Sebagai alat pengikat pada kain tapis biasanya dipakai jarum tangan dan benang jahit berwarna kuning. Bahan kain tapis adalah kain tenun yang berbentuk kain sarung, terbuat dari kapas dan bermotif dasar garis horizontal.

Fungsi kain tapis sendiri berkaitan erat dengan makna simbolis yang terdapat pada ragam hias dan merupakan perangkat untuk kepentingan upacara adat. Kain tapis mempunyai fungsi dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti aspek sosial, aspek religius, aspek estetika, dan aspek ekonomi.

Dari aspek religius, kain tapis lazim dipakai pada upacara daur hidup termasuk upacara keagaamaan. Ragam hias yang ada di atas selembar tapis melambangkan wujud kepercayaan masyarakat Lampung terhadap kebesaran alam dan keagungan Tuhan. Sedangkan dari aspek estetika, motif ragam hias yang ditampilkan melahirkan karya seni yang memiliki nilai estetika dan nilai historis yang tinggi.

Iwan Nurdaya Djafar, yang juga dikenal sebagai penerjemah karya klasik dan penyair, mengungkapkan, pada masa lampau pemakaian kain tapis tergantung pada tingkat sosial seseorang. Kain tapis yang dikenakan seseorang dapat menunjukkan status sosial pemakai dan merupakan lambang atau simbol status kelompok keluarga tertentu.

Menurut Iwan, pada zaman dulu kerajinan tapis lebih sebagai kebutuhan sosial sekelompok masyarakat pendukungnya untuk memenuhi kepentingan adat istiadat. “Dengan adanya perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, hasil kerajinan tapis diperjualbelikan kepada masyarakat luas, akhirnya sedikit demi sedikit fungsi simbolis dan religi diabaikan,” kata Iwan.

Iwan mengungkapkan, kain tapis tidak hanya menampilkan sisi estetis semata, tetapi juga mengandung sugesti moral, magis, dan religius yang tampak di setiap simbol pada lambang yang menjadi ragam motifnya. Nilai yang terkandung dalam kain tapis tersebut merupakan refleksi terhadap kehidupan manusia.

Keagungan nilai – nilai simbolis tapis biasanya diambil dari unsur – unsur flora, fauna, alam raya, benda dan motif bercorak manusia. Simbol – simbol tersebut dimaknai sebagai kehidupan timbal balik antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan Tuhan Pencipta alam raya. Demikian pula dengan motif kapal dalam kain tapis Lampung, yang melambangkan aspek kemaritiman Indonesia yang kaya akan sumberdaya alamnya.

Motif tersebut telah muncul sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia. Kemudian dimodifikasi dengan pengaruh motif Islam yang merambah masuk saat kerajaan Islam berkuasa dan masuknya saudagar dari Arab, Persia dan India ke Bumi Ruwai Jurai, antara tahun 1500 – 1700. Lebih – lebih setelah masuknya budaya dari Jawa melalui proses perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda. Perkembangan seni tenun tradisional Lampung semakin kaya.

Menurut Iwan, tapis kuno biasanya berkualitas karena proses penggarapannya bukan karena tuntutan industri. Umumnya, muli (gadis) dan ibu – ibu masyarakat Lampung pandai dalam membuat kain tapis. Mereka bekerja hanya mengisi waktu senggang, tak peduli lama prosesnya.

“Ada sebuah aturan sosial dalam masyarakat Lampung zaman dulu, jika seseorang yang tidak mempunyai kain tapis maka ia akan dikucilkan. Makanya, banyak orang Lampung yang pandai membuat tapis untuk menghindari pengucilan tersebut," kata Iwan.

Uniknya, untuk menilai bagus atau tidaknya seorang gadis Lampung, salah satunya dengan menilai kepandaiannya dalam menenun tapis. Semakin pandai, gadis tersebut menenun, maka semakin baik akal, budi dan perilakunya. “Sekarang aturan itu tidak ada lagi. Tapi, siapa pun pria yang akan menyunting gadis Lampung sebagai istrinya, sampai sekarang pun harus menyediakan sejumlah kain tapis. Ini tentu saja memberatkan karena harga kain tapis makin mahal,” kata mantan ketua Dewan Kesenian Lampung itu.

Rusli Syukur, perupa Lampung yang juga ahli tapis, mengungkapkan penciptaan motif tidak terlepas dari realitas zaman. Mulai dari agama Hindu, Budha dan Islam, khasanah motif tapis terus mengalami perubahan, berkembang melalui proses akulturasi tanpa menghilangkan identitasnya. Kini, karena sudah sekian banyak diproduksi, keberadaan tapis tidak lagi untuk kalangan khusus.

"Keberadaan kain tapis mengalami pergeseran fungsi simbolisnya. Lunturnya fungsi simbolis tersebut disebabkan karena pengaruh industrialisasi. Karena itu, industri tapis lebih mengedepankan sisi ekonomis dan kurang memperhatikan aspek religis dan sosiologis,” kata Rusli.

Rusli mengungkapkan, pada zaman dulu Tapis Lampung merupakan kerajinan tradisional yang hanya dikerjakan oleh wanita, baik ibu – ibu rumah tangga maupun gadis – gadis yang hanya mengisi waktu luang. "Tujuannya tidak untuk bisnis, tetapi untuk keperluan adat istiadat yang dianggap sakral," kata perupa yang mengembangkan motif tapis untuk berbagai ornamen bangunan berciri Lampung itu. (Oyos Saroso H.N.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar