Menurut catatan
sejarah, kain tapis Lampung sudah mulai dikembangkan sejak tahun 800-an. Hal
itu bisa dilihat pada Prasasti Raja Belitang yang berangka tahun 898—915
Masehi. Masyarakat yang pertama kali mengembangkan kain tapis adalah masyarakat
daerah Menggala (kabupaten Tulangbawang) dan Kenali (Lampung Barat).
Panjangnya sejarah kain tapis Lampung juga
ditunjukkan dengan adanya koleksi tapis kuno Lampung yang sudah berumur 400-an
tahun yang saat ini tersimpan di musium Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan,
ada beberapa pengamat budaya Lampung
yang mengungkapkan bahwa tapis Lampung sudah ada sejak zaman prasejarah.
Budayawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar,
mengungkapkan dahulu kain tapis yang terbuat dari kain tenun dan disulam dengan
benang emas, perak atau sutra itu merupakan simbol status seseorang. Sebagai
alat pengikat pada kain tapis biasanya dipakai jarum tangan dan benang jahit
berwarna kuning. Bahan kain tapis adalah kain tenun yang berbentuk kain sarung,
terbuat dari kapas dan bermotif dasar garis horizontal.
Fungsi kain tapis sendiri berkaitan erat
dengan makna simbolis yang terdapat pada ragam hias dan merupakan perangkat
untuk kepentingan upacara adat. Kain tapis mempunyai fungsi dalam beberapa
aspek kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti aspek sosial, aspek religius,
aspek estetika, dan aspek ekonomi.
Dari aspek religius, kain tapis lazim
dipakai pada upacara daur hidup termasuk upacara keagaamaan. Ragam hias yang
ada di atas selembar tapis melambangkan wujud kepercayaan masyarakat Lampung
terhadap kebesaran alam dan keagungan Tuhan. Sedangkan dari aspek estetika,
motif ragam hias yang ditampilkan melahirkan karya seni yang memiliki nilai
estetika dan nilai historis yang tinggi.
Iwan Nurdaya Djafar, yang juga dikenal
sebagai penerjemah karya klasik dan penyair, mengungkapkan, pada masa lampau
pemakaian kain tapis tergantung pada tingkat sosial seseorang. Kain tapis yang
dikenakan seseorang dapat menunjukkan status sosial pemakai dan merupakan
lambang atau simbol status kelompok keluarga tertentu.
Menurut Iwan, pada zaman dulu kerajinan
tapis lebih sebagai kebutuhan sosial sekelompok masyarakat pendukungnya untuk
memenuhi kepentingan adat istiadat. “Dengan adanya perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat, hasil kerajinan tapis diperjualbelikan kepada masyarakat
luas, akhirnya sedikit demi sedikit fungsi simbolis dan religi diabaikan,” kata
Iwan.
Iwan mengungkapkan, kain tapis tidak hanya
menampilkan sisi estetis semata, tetapi juga mengandung sugesti moral, magis,
dan religius yang tampak di setiap simbol pada lambang yang menjadi ragam
motifnya. Nilai yang terkandung dalam kain tapis tersebut merupakan refleksi
terhadap kehidupan manusia.
Keagungan nilai – nilai simbolis tapis
biasanya diambil dari unsur – unsur flora, fauna, alam raya, benda dan motif
bercorak manusia. Simbol – simbol tersebut dimaknai sebagai kehidupan timbal
balik antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya dan manusia
dengan Tuhan Pencipta alam raya. Demikian pula dengan motif kapal dalam kain
tapis Lampung, yang melambangkan aspek kemaritiman Indonesia yang kaya akan
sumberdaya alamnya.
Motif tersebut telah muncul sejak jaman
kerajaan Hindu Indonesia. Kemudian dimodifikasi dengan pengaruh motif Islam
yang merambah masuk saat kerajaan Islam berkuasa dan masuknya saudagar dari
Arab, Persia dan India ke Bumi Ruwai Jurai, antara tahun 1500 – 1700. Lebih –
lebih setelah masuknya budaya dari Jawa melalui proses perdagangan di Selat
Malaka dan Selat Sunda. Perkembangan seni tenun tradisional Lampung semakin kaya.
Menurut Iwan, tapis kuno biasanya
berkualitas karena proses penggarapannya bukan karena tuntutan industri.
Umumnya, muli (gadis) dan ibu – ibu masyarakat Lampung pandai dalam
membuat kain tapis. Mereka bekerja hanya mengisi waktu senggang, tak peduli
lama prosesnya.
“Ada sebuah aturan sosial dalam masyarakat
Lampung zaman dulu, jika seseorang yang tidak mempunyai kain tapis maka ia akan
dikucilkan. Makanya, banyak orang Lampung yang pandai membuat tapis untuk
menghindari pengucilan tersebut," kata Iwan.
Uniknya, untuk menilai bagus atau tidaknya
seorang gadis Lampung, salah satunya dengan menilai kepandaiannya dalam menenun
tapis. Semakin pandai, gadis tersebut menenun, maka semakin baik akal, budi dan
perilakunya. “Sekarang aturan itu tidak ada lagi. Tapi, siapa pun pria yang
akan menyunting gadis Lampung sebagai istrinya, sampai sekarang pun harus
menyediakan sejumlah kain tapis. Ini tentu saja memberatkan karena harga kain
tapis makin mahal,” kata mantan ketua Dewan Kesenian Lampung itu.
Rusli Syukur, perupa Lampung yang juga ahli
tapis, mengungkapkan penciptaan motif tidak terlepas dari realitas zaman. Mulai
dari agama Hindu, Budha dan Islam, khasanah motif tapis terus mengalami
perubahan, berkembang melalui proses akulturasi tanpa menghilangkan
identitasnya. Kini, karena sudah sekian banyak diproduksi, keberadaan tapis
tidak lagi untuk kalangan khusus.
"Keberadaan kain tapis mengalami
pergeseran fungsi simbolisnya. Lunturnya fungsi simbolis tersebut disebabkan
karena pengaruh industrialisasi. Karena itu, industri tapis lebih mengedepankan
sisi ekonomis dan kurang memperhatikan aspek religis dan sosiologis,” kata
Rusli.
Rusli mengungkapkan, pada zaman dulu Tapis
Lampung merupakan kerajinan tradisional yang hanya dikerjakan oleh wanita, baik
ibu – ibu rumah tangga maupun gadis – gadis yang hanya mengisi waktu luang.
"Tujuannya tidak untuk bisnis, tetapi untuk keperluan adat istiadat yang
dianggap sakral," kata perupa yang mengembangkan motif tapis untuk
berbagai ornamen bangunan berciri Lampung itu. (Oyos Saroso H.N.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar