Secara
sosiologis, kain tapis Lampung melambangkan kemapanan status sosial pemiliknya
dalam kehidupan bermasyarakat. Kain
Tapis Raja Medal, misalnya, hanya bisa dipakai oleh kalangan elite suku asli
Lampung dari kalangan keluarga pemimpin adat atau pemimpin suku pada upacara
adat. Misalnya saat resepsi perkawinan dan upacara pemberian gelar adat (cakak
pepadun). Penggunaannya pun tidak boleh sembarangan.
Pemakaian kain
tapis pada acara adat juga harus disesuai derajat penggunaannya. Pada acara
perkawinan dan cakak pepadun, jenis tapis yang dipakai adalah Tapis Jung
Sarat, Raja Medal, Raja Tunggal, Dewasano, Limar Sekebar, Ratu Tulang Bawang
dan Cucuk Semako. Pada acara cangget (tarian untuk menghormati tamu
penting), tapis yang dipakai dengan motif Bintang Perak, Tapis Balak, Pucuk
Rebung, Lawek Linau dan Kibang. Untuk wanita tua, tapis yang dipakai adalah
Tapis Agheng, Cucuk Pinggir, dan Tapis Kaca.
Jika salah dalam menggunakannya, maka ada sanksi
adat, berupa teguran dari anggota masyarakat lainnya. Bahkan, seseorang yang
secara adat dinilai belum pantas memakai Kain Tapis Medal, misalnya, tetapi
nekat memakainya pada saat upacara adat, kain itu bisa dicopot di muka umum.
Perkembangan zaman menyebabkan
desakralisasi kain tapis. Kini kain tapis tidak hanya dipakai kaum bangsawan
atau kepala adat, tetapi juga dipakai oleh kalangan masyarakat Lampung kelas
bawah. Kalau kain tapis para kepala adat biasanya benangnya bercampur dengan
emas, kain tapis yang dipakai orang kebanyakan benangnya berwarna kuning
keemasan.
Meski begitu, motifnya tetap indah.
Pemakaiannya pun harus pada acara adat tertentu, seperti Acara Butammat,
yaitu acara muda-mudi melakukan pembacaan ayat suci Al Quran di Balai Adat dan
disaksikan oleh para pemuka adat dan masyarakat sebagai tanda mereka telah khatam
Al Quran.
"Meski telah terjadi perubahan dalam
motif kain tapis karena pengaruh perkembangan jaman, namun khasanah motif tempo
dulu tak juga sirna," kata Aisyah Yaqub, 66, seniman tapis asal Desa Natar, Lampung
Selatan.
Aisyah mencontohkan motif Pucuk Rebung
(anak bambu muda) yang sudah ada sejak periode prasejarah atau ragam hias jaman
Hindu. Tapis Pucuk Rebung hingga kini masih menjadi motif utama yang
melambangkan kemakmuran. Demikian pula motif yang berbentuk spiral, diyakini
mempunyai arti sebagai pemujaan matahari dan alam. Ragam hias Pohon Hayat juga
diyakini mengandung makna kesatuan dan keesaan Tuhan yang menciptakan alam
semesta.
Menurut Aisyah pada zaman dulu para pengrajin tapis menggunakan bahan baku dari hasil olah
sendiri dengan menggunakan sistem ikat. Bahan olahan tersebut berasal dari khambak
(kapas) yang digunakan untuk membuat benang; kepompong, yang digunakan
untuk membuat benang sutera; pantis (lilin sarang lebah), untuk
meregangkan benang; akar serai wangi , untuk pengawet benang, daun sirih untuk
membuat tidak luntur, buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu jejal untuk
pewarna merah, kulit kayu salam, rambutan untuk pewarna hitam, kulit kayu mahoni,
durian untuk perwarna coklat, buah duku, atau daun talom untuk pewarna biru,
kunyit dan kapur untuk pewarna kuning.
“Bahan baku
yang langsung diambil dari alam tersebut lebih berkualitas dari pada bahan baku yang sekarang sudah
banyak diperdagangkan,” kata Aisyah.
Aisyah mengatakan sekarang bahan baku pembuatan tapis adalah benang katun yang
berbentuk gulungan yang bermerek Tiger atau Astra dengan berbagai jenis warna.
Sedangkan untuk bahan sulamnya, menggunakan benang emas dalam bentuk gulungan yang
mudah didapatkan.
Proses membuat tapis memang tergolong
rumit, membutuhkan keterampilan dan waktu yang lumayan lama. Untuk menciptakan
satu kain tapis, membutuhkan waktu seminggu hingga dua bulan. Pembuatannya juga
unik dan berbau magis. Dulu, kain tapis dibuat dari daun nanas dan dalam
pembuatannya seorang penenun melafazkan mantra-mantra sebagai asihan bagi
pemakainnya yang dilakukan dari proses penenunan, penyulaman hingga menjadi
kain.
Bahan utamanya berasal benang kapas katun,
benang emas dan benang kapas. Bahan katun dijadikan sebagai dasar kain.
Sedangkan benang emas dan benang kapas digunakan untuk membuat ragam hias
dengan sistem sulam.
Setelah bahan dipersiapkan, langkah
selanjutnya adalah melakukan penenunan yang disebut Mattakh Setelah ditenun, baru dilakukan penyulaman
untuk menghias motif yang telah ditentukan. Alat yang digunakan saat penyulaman
adalah tekang, yang berbentuk persegi panjang berupa papan sebagai
pengencang kain yang akan disulam. Sedangkan proses penyulaman dilakukan secara
manual dengan menggunakan jarum. Sebelum menyulam, pengrajin sudah mengetahui
motif yang akan disulam. Motif – motif tersebut telah digambar di atas kain.
Penyulaman dilakukan sesuai gambar motif yang telah didesain.
Motif yang dihasilkan bentuknya
beranekaragam, seperti ragam hias geometri, yaitu ragam hias berbentuk persegi
seperti wajik. Ragam hias flora dan fauna, yang umumnya dijadikan motif adalah
bunga dan daun sulur (menjulur) membentuk simetris pada bidang dasar kain.
Ragam hias sulur berupa sulaman berbentuk tali, digunakan sebagai ragam hias
pada Tapis Cucuk Andak dan Inuh. Sulur bentuknya berliku – liku. Sedangkan
ragam fauna, umumnya bermotif naga, burung dan hewan tunggangan. Burung hias
yang biasa djadikan motif adalah burung garuda, merak dan ayam jago.
Burung dilambangkan sebagai ketiinggian
derajat seseorang, sedangkan ayam jago melambangkan keperkasaan. Pada agama
Hindu, burung garuda disimbolkan sebagai kendaraan dewa Wisnu. Sedangkan burung
merak melambangkan kebesaran dengan keindahan ekornya. Motif tersebut dapat
dijumpai pada Kain Tapis "Perahu Garuda" yang dipakai pada acara
begawi adat (pesta adat), menjadi simbol untuk mencapai derajat yang lebih
tinggi. Penggunaan ragam hias burung umumnya dipakai pada wanita tua dan menggunakan
dasar warna tua.
Ada juga motif hewan tunggangan, seperti gajah, kerbau dan kuda
bersayap. Gajah dan Kerbau melambangkan kemakmuran. Kuda bersayap melambangkan
keberaian. Motif tersebut umumnya digunakan para gadis dan istri pemimpin adat.
Tapis yang bermotif Hewan Tunggangan dapat ditemukan pada Tapis Raja Medal,
Tapis Raja Tunggal dan Tapis gajah Meghem. Ada juga tapis yang bermotif naga, ikan dan
kupu – kupu. Motif tersebut tidak terlepas dari pengaruh tradisi china.
Selain bermotif flora dan fauna, terdapat
pula ragam hias bermotif manusia. Biasanya berupa seseorang yang sedang
menunggang kuda atau gajah dan rato (kereta kerajaan). Artinya, manusia
mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada hewan. Motif tersebut dapat
dijumpai pada Tapis Raja Tunggal dan Tapis Raja Medal. Motif manusia juga
ditemukan pada Tapis Ratu Tulang Bawang dalam bentuk orang bermahkota atau
bertanduk. Hal itu mengandung makna, status seseorang yang sangat tinggi dan
dihormati.
Dalam tapis juga
ditemukan motif bintang yang berwarna perak dan bulan berbentuk sabit. Hal itu
dijumpai pada Tapis Limar, yang melambangkan masa depan terang benderang. Motif
Perahu yang dijumpai pada Tapis Raja Tunggal, Tapis Salem Di Lawek di Gunung,
melambangkan sebuah masa peralihan, yang dalam pandangan hidup masyarakat
Lampung berarti ingin mencapai derajat yang lebih tinggi. Perahu adalah simbol
kendaraan untuk meraih derajat yang lebih tinggi. Sedangkan motif Pucuk Rebung
merupakan ragam hias yang mengandung makna kemakmuran sumberdaya alam.
(Oyos Saroso H.N.)