Jumat, 29 Juni 2012

Kain Tapis Lampung: Lambang Status yang Mengalami Desakrakalisasi





Secara sosiologis, kain tapis Lampung melambangkan kemapanan status sosial pemiliknya dalam kehidupan bermasyarakat.  Kain Tapis Raja Medal, misalnya, hanya bisa dipakai oleh kalangan elite suku asli Lampung dari kalangan keluarga pemimpin adat atau pemimpin suku pada upacara adat. Misalnya saat resepsi perkawinan dan upacara pemberian gelar adat (cakak pepadun). Penggunaannya pun tidak boleh sembarangan.
                                                                                   
Pemakaian kain tapis pada acara adat juga harus disesuai derajat penggunaannya. Pada acara perkawinan dan cakak pepadun, jenis tapis yang dipakai adalah Tapis Jung Sarat, Raja Medal, Raja Tunggal, Dewasano, Limar Sekebar, Ratu Tulang Bawang dan Cucuk Semako. Pada acara cangget (tarian untuk menghormati tamu penting), tapis yang dipakai dengan motif Bintang Perak, Tapis Balak, Pucuk Rebung, Lawek Linau dan Kibang. Untuk wanita tua, tapis yang dipakai adalah Tapis Agheng, Cucuk Pinggir, dan Tapis Kaca.

Jika salah dalam menggunakannya, maka ada sanksi adat, berupa teguran dari anggota masyarakat lainnya. Bahkan, seseorang yang secara adat dinilai belum pantas memakai Kain Tapis Medal, misalnya, tetapi nekat memakainya pada saat upacara adat, kain itu bisa dicopot di muka umum.

Perkembangan zaman menyebabkan desakralisasi kain tapis. Kini kain tapis tidak hanya dipakai kaum bangsawan atau kepala adat, tetapi juga dipakai oleh kalangan masyarakat Lampung kelas bawah. Kalau kain tapis para kepala adat biasanya benangnya bercampur dengan emas, kain tapis yang dipakai orang kebanyakan benangnya berwarna kuning keemasan.

Meski begitu, motifnya tetap indah. Pemakaiannya pun harus pada acara adat tertentu, seperti Acara Butammat, yaitu acara muda-mudi melakukan pembacaan ayat suci Al Quran di Balai Adat dan disaksikan oleh para pemuka adat dan masyarakat sebagai tanda mereka telah khatam Al Quran.

"Meski telah terjadi perubahan dalam motif kain tapis karena pengaruh perkembangan jaman, namun khasanah motif tempo dulu tak juga sirna," kata Aisyah Yaqub, 66,  seniman tapis asal Desa Natar, Lampung Selatan.

Aisyah mencontohkan motif Pucuk Rebung (anak bambu muda) yang sudah ada sejak periode prasejarah atau ragam hias jaman Hindu. Tapis Pucuk Rebung hingga kini masih menjadi motif utama yang melambangkan kemakmuran. Demikian pula motif yang berbentuk spiral, diyakini mempunyai arti sebagai pemujaan matahari dan alam. Ragam hias Pohon Hayat juga diyakini mengandung makna kesatuan dan keesaan Tuhan yang menciptakan alam semesta.

Menurut Aisyah pada zaman dulu  para pengrajin tapis menggunakan bahan baku dari hasil olah sendiri dengan menggunakan sistem ikat. Bahan olahan tersebut berasal dari khambak (kapas) yang digunakan untuk membuat benang; kepompong, yang digunakan untuk membuat benang sutera; pantis (lilin sarang lebah), untuk meregangkan benang; akar serai wangi , untuk pengawet benang, daun sirih untuk membuat tidak luntur, buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu jejal untuk pewarna merah, kulit kayu salam, rambutan untuk pewarna hitam, kulit kayu mahoni, durian untuk perwarna coklat, buah duku, atau daun talom untuk pewarna biru, kunyit dan kapur untuk pewarna kuning.

“Bahan baku yang langsung diambil dari alam tersebut lebih berkualitas dari pada bahan baku yang sekarang sudah banyak diperdagangkan,” kata Aisyah.

Aisyah mengatakan  sekarang bahan baku pembuatan tapis adalah benang katun yang berbentuk gulungan yang bermerek Tiger atau Astra dengan berbagai jenis warna. Sedangkan untuk bahan sulamnya, menggunakan benang emas dalam bentuk gulungan yang mudah didapatkan.

Proses membuat tapis memang tergolong rumit, membutuhkan keterampilan dan waktu yang lumayan lama. Untuk menciptakan satu kain tapis, membutuhkan waktu seminggu hingga dua bulan. Pembuatannya juga unik dan berbau magis. Dulu, kain tapis dibuat dari daun nanas dan dalam pembuatannya seorang penenun melafazkan mantra-mantra sebagai asihan bagi pemakainnya yang dilakukan dari proses penenunan, penyulaman hingga menjadi kain.

Bahan utamanya berasal benang kapas katun, benang emas dan benang kapas. Bahan katun dijadikan sebagai dasar kain. Sedangkan benang emas dan benang kapas digunakan untuk membuat ragam hias dengan sistem sulam.

Setelah bahan dipersiapkan, langkah selanjutnya adalah melakukan penenunan yang disebut Mattakh  Setelah ditenun, baru dilakukan penyulaman untuk menghias motif yang telah ditentukan. Alat yang digunakan saat penyulaman adalah tekang, yang berbentuk persegi panjang berupa papan sebagai pengencang kain yang akan disulam. Sedangkan proses penyulaman dilakukan secara manual dengan menggunakan jarum. Sebelum menyulam, pengrajin sudah mengetahui motif yang akan disulam. Motif – motif tersebut telah digambar di atas kain. Penyulaman dilakukan sesuai gambar motif yang telah didesain.

Motif yang dihasilkan bentuknya beranekaragam, seperti ragam hias geometri, yaitu ragam hias berbentuk persegi seperti wajik. Ragam hias flora dan fauna, yang umumnya dijadikan motif adalah bunga dan daun sulur (menjulur) membentuk simetris pada bidang dasar kain. Ragam hias sulur berupa sulaman berbentuk tali, digunakan sebagai ragam hias pada Tapis Cucuk Andak dan Inuh. Sulur bentuknya berliku – liku. Sedangkan ragam fauna, umumnya bermotif naga, burung dan hewan tunggangan. Burung hias yang biasa djadikan motif adalah burung garuda, merak dan ayam jago.

Burung dilambangkan sebagai ketiinggian derajat seseorang, sedangkan ayam jago melambangkan keperkasaan. Pada agama Hindu, burung garuda disimbolkan sebagai kendaraan dewa Wisnu. Sedangkan burung merak melambangkan kebesaran dengan keindahan ekornya. Motif tersebut dapat dijumpai pada Kain Tapis "Perahu Garuda" yang dipakai pada acara begawi adat (pesta adat), menjadi simbol untuk mencapai derajat yang lebih tinggi. Penggunaan ragam hias burung umumnya dipakai pada wanita tua dan menggunakan dasar warna tua.

Ada juga motif hewan tunggangan, seperti gajah, kerbau dan kuda bersayap. Gajah dan Kerbau melambangkan kemakmuran. Kuda bersayap melambangkan keberaian. Motif tersebut umumnya digunakan para gadis dan istri pemimpin adat. Tapis yang bermotif Hewan Tunggangan dapat ditemukan pada Tapis Raja Medal, Tapis Raja Tunggal dan Tapis gajah Meghem. Ada juga tapis yang bermotif naga, ikan dan kupu – kupu. Motif tersebut tidak terlepas dari pengaruh tradisi china.

Selain bermotif flora dan fauna, terdapat pula ragam hias bermotif manusia. Biasanya berupa seseorang yang sedang menunggang kuda atau gajah dan rato (kereta kerajaan). Artinya, manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada hewan. Motif tersebut dapat dijumpai pada Tapis Raja Tunggal dan Tapis Raja Medal. Motif manusia juga ditemukan pada Tapis Ratu Tulang Bawang dalam bentuk orang bermahkota atau bertanduk. Hal itu mengandung makna, status seseorang yang sangat tinggi dan dihormati.

Dalam tapis juga ditemukan motif bintang yang berwarna perak dan bulan berbentuk sabit. Hal itu dijumpai pada Tapis Limar, yang melambangkan masa depan terang benderang. Motif Perahu yang dijumpai pada Tapis Raja Tunggal, Tapis Salem Di Lawek di Gunung, melambangkan sebuah masa peralihan, yang dalam pandangan hidup masyarakat Lampung berarti ingin mencapai derajat yang lebih tinggi. Perahu adalah simbol kendaraan untuk meraih derajat yang lebih tinggi. Sedangkan motif Pucuk Rebung merupakan ragam hias yang mengandung makna kemakmuran sumberdaya alam.
(Oyos Saroso H.N.)




Tapis Lampung, Bukti Akulturasi Hindu-Budha-Islam






Menurut catatan sejarah, kain tapis Lampung sudah mulai dikembangkan sejak tahun 800-an. Hal itu bisa dilihat pada Prasasti Raja Belitang yang berangka tahun 898—915 Masehi. Masyarakat yang pertama kali mengembangkan kain tapis adalah masyarakat daerah Menggala (kabupaten Tulangbawang) dan Kenali (Lampung Barat).

Panjangnya sejarah kain tapis Lampung juga ditunjukkan dengan adanya koleksi tapis kuno Lampung yang sudah berumur 400-an tahun yang saat ini tersimpan di musium Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan, ada beberapa  pengamat budaya Lampung yang mengungkapkan bahwa tapis Lampung sudah ada sejak zaman prasejarah.

Budayawan Lampung, Iwan Nurdaya Djafar, mengungkapkan dahulu kain tapis yang terbuat dari kain tenun dan disulam dengan benang emas, perak atau sutra itu merupakan simbol status seseorang. Sebagai alat pengikat pada kain tapis biasanya dipakai jarum tangan dan benang jahit berwarna kuning. Bahan kain tapis adalah kain tenun yang berbentuk kain sarung, terbuat dari kapas dan bermotif dasar garis horizontal.

Fungsi kain tapis sendiri berkaitan erat dengan makna simbolis yang terdapat pada ragam hias dan merupakan perangkat untuk kepentingan upacara adat. Kain tapis mempunyai fungsi dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti aspek sosial, aspek religius, aspek estetika, dan aspek ekonomi.

Dari aspek religius, kain tapis lazim dipakai pada upacara daur hidup termasuk upacara keagaamaan. Ragam hias yang ada di atas selembar tapis melambangkan wujud kepercayaan masyarakat Lampung terhadap kebesaran alam dan keagungan Tuhan. Sedangkan dari aspek estetika, motif ragam hias yang ditampilkan melahirkan karya seni yang memiliki nilai estetika dan nilai historis yang tinggi.

Iwan Nurdaya Djafar, yang juga dikenal sebagai penerjemah karya klasik dan penyair, mengungkapkan, pada masa lampau pemakaian kain tapis tergantung pada tingkat sosial seseorang. Kain tapis yang dikenakan seseorang dapat menunjukkan status sosial pemakai dan merupakan lambang atau simbol status kelompok keluarga tertentu.

Menurut Iwan, pada zaman dulu kerajinan tapis lebih sebagai kebutuhan sosial sekelompok masyarakat pendukungnya untuk memenuhi kepentingan adat istiadat. “Dengan adanya perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, hasil kerajinan tapis diperjualbelikan kepada masyarakat luas, akhirnya sedikit demi sedikit fungsi simbolis dan religi diabaikan,” kata Iwan.

Iwan mengungkapkan, kain tapis tidak hanya menampilkan sisi estetis semata, tetapi juga mengandung sugesti moral, magis, dan religius yang tampak di setiap simbol pada lambang yang menjadi ragam motifnya. Nilai yang terkandung dalam kain tapis tersebut merupakan refleksi terhadap kehidupan manusia.

Keagungan nilai – nilai simbolis tapis biasanya diambil dari unsur – unsur flora, fauna, alam raya, benda dan motif bercorak manusia. Simbol – simbol tersebut dimaknai sebagai kehidupan timbal balik antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan Tuhan Pencipta alam raya. Demikian pula dengan motif kapal dalam kain tapis Lampung, yang melambangkan aspek kemaritiman Indonesia yang kaya akan sumberdaya alamnya.

Motif tersebut telah muncul sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia. Kemudian dimodifikasi dengan pengaruh motif Islam yang merambah masuk saat kerajaan Islam berkuasa dan masuknya saudagar dari Arab, Persia dan India ke Bumi Ruwai Jurai, antara tahun 1500 – 1700. Lebih – lebih setelah masuknya budaya dari Jawa melalui proses perdagangan di Selat Malaka dan Selat Sunda. Perkembangan seni tenun tradisional Lampung semakin kaya.

Menurut Iwan, tapis kuno biasanya berkualitas karena proses penggarapannya bukan karena tuntutan industri. Umumnya, muli (gadis) dan ibu – ibu masyarakat Lampung pandai dalam membuat kain tapis. Mereka bekerja hanya mengisi waktu senggang, tak peduli lama prosesnya.

“Ada sebuah aturan sosial dalam masyarakat Lampung zaman dulu, jika seseorang yang tidak mempunyai kain tapis maka ia akan dikucilkan. Makanya, banyak orang Lampung yang pandai membuat tapis untuk menghindari pengucilan tersebut," kata Iwan.

Uniknya, untuk menilai bagus atau tidaknya seorang gadis Lampung, salah satunya dengan menilai kepandaiannya dalam menenun tapis. Semakin pandai, gadis tersebut menenun, maka semakin baik akal, budi dan perilakunya. “Sekarang aturan itu tidak ada lagi. Tapi, siapa pun pria yang akan menyunting gadis Lampung sebagai istrinya, sampai sekarang pun harus menyediakan sejumlah kain tapis. Ini tentu saja memberatkan karena harga kain tapis makin mahal,” kata mantan ketua Dewan Kesenian Lampung itu.

Rusli Syukur, perupa Lampung yang juga ahli tapis, mengungkapkan penciptaan motif tidak terlepas dari realitas zaman. Mulai dari agama Hindu, Budha dan Islam, khasanah motif tapis terus mengalami perubahan, berkembang melalui proses akulturasi tanpa menghilangkan identitasnya. Kini, karena sudah sekian banyak diproduksi, keberadaan tapis tidak lagi untuk kalangan khusus.

"Keberadaan kain tapis mengalami pergeseran fungsi simbolisnya. Lunturnya fungsi simbolis tersebut disebabkan karena pengaruh industrialisasi. Karena itu, industri tapis lebih mengedepankan sisi ekonomis dan kurang memperhatikan aspek religis dan sosiologis,” kata Rusli.

Rusli mengungkapkan, pada zaman dulu Tapis Lampung merupakan kerajinan tradisional yang hanya dikerjakan oleh wanita, baik ibu – ibu rumah tangga maupun gadis – gadis yang hanya mengisi waktu luang. "Tujuannya tidak untuk bisnis, tetapi untuk keperluan adat istiadat yang dianggap sakral," kata perupa yang mengembangkan motif tapis untuk berbagai ornamen bangunan berciri Lampung itu. (Oyos Saroso H.N.)